SINTANG, RK – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sintang, Heri Jambri mengungkapkan bahwa petani sawit dan lada di perbatasan Sintang-Malaysia mengeluhkan tingginya harga pupuk non subsidi.
Ia menilai, kondisi ini membuat daya beli pupuk sangat rendah.
“Pupuk di perbatasan mahal ya. Contoh pupuk NPK subsidi kalau di Sintang Rp 100 ribu, di perbatasan Rp 200 ribu. Yang jadi masalah lagi, pupuk subsidi tak pernah nongol di perbatasan,” ucapnya.
Dikatakannya, yang tersedia sekarang, justru pupuk merk Ponska yang harganya mahal. Untuk harganya mencapai Rp 300 ribu untuk kemasan 50 kilogram.
“Itu jenis pupuk paling murah di sana. Sekarang pasarannya mencapai Rp 400 – Rp 500 ribu. Ini harga terbaru ya saat saya turun ke perbatasan,” jelasnya.
Menurutnya, tingginya harga pupuk tidak sebanding dengan pendapatan masyarakat. Karena saat harga produksi mengalami kenaikan, harga pupuk juga naik berlipat-lipat.
“Jadi ndak sesuai. Sementara kalau harga barang produksi turun, harga pupuk ndak akan pernah turun,” ungkapnya.
Dengan adanya kondisi tersebut, kata legislator Partai Hanura ini, menjadi bukti kalau kontrol pemerintah terkait harga pupuk sangat minim.
“Beda dengan kondisi di Malaysia. Di sana, harga pupuk, harga sembako, dintervensi pemerintah. Jika ada yang melanggar dikenakan sanksi, didenda. Bahkan izinnya dicabut,” tuturnya.
Sementara di Indonesia tidak ada kontrol seperti itu. Jadi Indonesia seperti negara kapitalis. Bukan negara yang menerapkan ekonomi kerakyatan seperti yang selama ini digemborkan.
“Jadi pemerintah terkesan tidak peduli dengan harga apapun yang mengalami kenaikan. Mereka ndak peduli, semuanya diserahkan ke mekanisme pasar,” terang Heri.
Padahal, kalau mau jujur Indonesia adalah negara Pancasila. Negara yang mengutamakan rakyatnya sejahtera.
“Tapi praktek di lapangan bukan masyarakat yang sejahtera. Tapi kalangan-kalangan atas yang difasilitasi pemerintah. Itu fakta yang terjadi sekarang,” tukasnya.