SINTANG, (RK)- Saat ini di Sintang, angka orang rapid tes reaktif cukup banyak. Dari hari ke hari jumlahnya terus bertambah. Pada tanggal 15 Mei 2020 sudah mencapai 200 orang yang reaktif dari pemeriksaan rapid tes sehingga didaftarkan sebagai orang tanpa gejala (OTG). Angka ini memunculkan kecemasan di tengah masyarakat. Banyak muncul, stigma negatif kepada para OTG.
Selaku anggota DPRD Sintang dan tokoh masyarakat, Tuah Mangasih, ST.M.Si mengingatkan kepada masyarakat, bahwa hal ini hendaknya menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk lebih saling peduli. Beliau juga menghimbau agar masyarakat tetap mengikuti anjuran dari pemerintah untuk menjaga kesehatan dan melakukan pola hidup sehat.
“Dengan meningkatnya hasil rapid tes yang reaktif maka kita semua harus meningkatkan kewaspadaan kita akan menyebarkan covid-19. Bersama-sama kita bisa memutus rantai penyebaran virus tersebut,” kata pria yang akrab disapa Pak Tuah ini. “Kita tidak boleh memberikan stigma negatif kepada mereka yang sudah reaktif atau bahkan yang sudah dinyatakan positif covid-19 sebab tidak ada orang yang mau terjangkiti oleh virus tersebut. Sekalipun terjangkiti itu bukan aib, bukan dosa dan bukan pula kutukan, bisa terjadi kepada siapapun. Sebaiknya kita harus memberikan dukungan moril dan bahkan jika memungkinkan berikan juga dukungan materiil kepada mereka yang sudah terpapar Corona virus dan keluarganya. Disaat-saat seperti ini rasa kemanusiaan kita sedang di uji. Mari semakin peduli dengan sesama,” ajak politisi PDI Perjuangan tersebut.
Kepala Dinas Kesehatan Sintang, dr. Harysinto Linoh menyampaikan secara detail proses pembacaan rapid tes, agar masyarakat dapat lebih mengerti dan lebih tenang dengan melonjaknya angka OTG di Sintang.
“Terlepas dari tingginya angka OTG itu saya mau menyampaikan, rapid tes ini bukan pemeriksaan pasti untuk infeksi korona. Bukan! Rapid test ini adalah pemeriksaan apakah dibadan kita itu, sudah terbentuk antibody terhadap infeksi virus. Bisa virus korona, bisa virus parainfluenza, macam-macam virus. Nah, untuk memastikannya adalah menggunakan metode PCR (polymerase chain reaction) yang lewat swab tenggorokan,” ungkap dr. Sinto. “Jadi masyarakat juga jangan memberikan stigma negatif terhadap orang-orang yang sudah dinyatakan rapid test reaktif. Berarti dia sudah korona. Bukan! Bukan seperti itu. Rapid tes tidak untuk memberikan diagnosa korona. Tetapi rapid tes untuk kita melakukan pelacakan pada kasus-kasus yang mungkin terjadi. Jadi penggunaan rapid tes ini harus benar-benar bijak,” tegasnya lagi.
Sinto menjelaskan bahwa dalam pembacaan rapid tes dilihat dua komponen yaitu, IgM (immunoglobulin M – antibody yang terbentuk saat anda pertama kali terinfeksi oleh virus atau bakteri jenis baru) dan IgG (immunoglobulin G). Pada pemeriksaan Rapid tes ada orang yang reaktif terhadap IgM. Kondisi itu menunjukkan adanya infeksi awal apabila di badan tersebut sudah membentuk antibody terhadap masuknya virus. Ada yang reaktif IgG. Artinya, orang ini sudah lama terinfeksi virus sekarang sudah terbentuk antibody dalam proses penyembuhan. Biasanya IgM itu dia rekatif itu dimulai hari ke-10 sampai hari ke-14. Setelah itu, muncul IgG.
“Kalau di analogikan, IgM adalah pencuri, IgG itu polisi. Jadi kalau misalnya, virus masuk, badannya membentuk IgM ini, artinya ini baru ada pencurinya. Polisinya belum datang. Begitu IgG nya datang, berarti pencurinya sudha di datengi polisi. Kalau cuma reaktif IgG pencurinya udah gak ada tapi polisi masih jaga-jaga. Kalau dua-duanya ada, pencuri sama polisi sama-sama ada di tempat. Ini polisi lagi mau nangkap pencuri. Kalau dua-duanya gak ada berarti aman,” papar dr. Sinto. “Terhadap orang-orang yang rapid testnya reaktif itu kita minta untuk melakukan karantina mandiri. Dari hasil pengusutan yang kita lakukan ini, dari kontak-kontak erat ini, kita lakukan rapid test ada yang reaktif ada yang non reaktif. Makanya, OTG di kabupaten sintang ini bertambah sejak adanya konfirmasi positif di Sintang. Rapid test kita ini jumlahnya terbatas. Kita tidak punya rapid test yang jumlahnya banyak. Kita dapat bantuan dari provinsi untuk pengadaan rapid tes ini. Kadang-kadang dikirim 100, kadang kadang dikirim 200. Alat rapid test yang jumlahnya sedikit itu harus kita manfaatkan sebaik mungkin,” tutupnya. (mot)