SINTANG, RS – Yosepha Hasnah, Sekretaris Daerah Kabupaten Sintang menegaskan bahwa status gizi mengalami penurunan sebesar 19,5 persen di tahun 2022. Namun di sisi lain masih menghadapi beberapa masalah gizi, khususnya stunting.
Hal tersebut ia sampaikan saat menyampaikan sambutan Bupati Sintang saat membuka kegiatan rembuk stunting di Balai Praja, Kantor Bupati Sintang. Kamis (13/04/2023).
Oleh sebab itu meskipun sudah mengalami penurunan yang signifikan Yosepha Hasnah menganggap masih memerlukan perhatian pemerintah daerah untuk menurunkan angka stunting sampai 14 persen di tahun 2024.
“Dari hasil pemantauan status gizi ini menunjukan bahwa Kabupaten Sintang masih menghadapi beberapa masalah gizi khususnya stunting. Walaupun sudah mengalami penurunan yang signifikan, namun masih memerlukan perhatian pemerintah daerah untuk menurunkan angka stunting sampai 14 persen di tahun 2024,” katanya.
Berdasarkan data, aksi kovergensi untuk analisis data dari hasil pemantauan status gizi Kabupaten Sintang pada tahun 2019 untuk stunting di angka 32,6 persen, mengalami penurunan di tahun 2020 menjadi 30,8 persen.
Dan tahun 2021 berdasarkan hasil survey status gizi Indonesia (SSGI) angka prevalensi di Kabupaten Sintang sebesar 38,2 tertinggi kedua di provinsi kalbar. Pada tahun 2022, berdasarkan SSGI mengalami penurunan sebesar 19 5 persen menjadi 18,7 persen terendah se- Kalbar.
Peran lintas sektoral terutama instansi teknis terkait dinilai sangat diperlukan dalam intervensi program perioritas ke kelompok sasaran yaitu ibu hamil, ibu menyusui, nifas, anak usia 0-23 bulan, remaja putri dan wanita usia subur serta nak usia 24-59 bulan.
“Dan juga kegiatan intervensi pada penyediaan air minum dan sanitiasi, peningkatan akses pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran komitmen dan praktek pengasuhan dan gizi ibu dan anak,” kata Yosepha.
Menurut Yospeha, dalam pelaksanaan kovergensi percepatan pencegahan stunting di Kabupaten Sintang sampai tingkat desa baik desa perioritas atau bukan harus terkoordinasi dengan desa yang dibiayai dengan anggaran dana desa.
“Sebab, OPD ada keterbatasan sumber daya yang tersedia terutama menyangkut anggaran dan tenaga sehingga tidak memungkinkan untuk melaksanakan program sekaligus di seluruh wilayah. Oleh karena itu qda perioritas pada wilayah tertentu atau mempunyai permasalahan serius sehingga diharapkan hasil intervensi yang dilakukan dapat lebih efektif,” jelas Yosepha.
Sumber: Rilis Prokopim Sintang